Sebenarnya ini bukan masalah seperti yang Koes Plus bilang dalam salah satu lagunya yang berjudul "Penyanyi", dengan syairnya "memang benar penyanyi butuh uang, perlu sandang, perlu pangan, makan kenyang tak kedinginan". Buat saya itu tidak masalah. Meski kalau diresapi baik-baik di era 70an itu, Koes Plus mungkin saja membuat lagu itu dengan maksud menyindir masyarakat karena hanya memandang penyanyi dengan sebelah mata.
Diimplementasikan di era 2000an sekarang ini pun tidak masalah, karena para penyanyi dan grup band itu pun butuh uang untuk bisa hidup. Tapi alangkah baiknya kalo komersialisme itu tidak membuat seniman keluar dari jalur prinsip musik itu sendiri, atau bahasa jawanya kebablasan. Musik itu bukan cuma popularitas dan komersialisme, tapi ia adalah apresiasi dari jiwa kita yang bebas. Tidak memandang pendek hanya dari segi "apa yang disukai pasar saat ini dan akan kami buatkan lagunya". Ibarat seperti orang-orang yang daya pikirnya tidak mau memandang ke depan, ketika dikasih lowong sedikit, maka semakin manja dan melunjaklah dia. Apakah industri musik juga begitu? semakin tenar dan kaya ia, semakin rakus dan membuang idealisme musik itu sendiri. Demi ketenaran, apa pun dijual. Dari prinsip, idealisme, kejujuran dan yang sekarang sedang ngetrend, menjual cinta dan agama/keyakinan.
Karena musik adalah apresiasi kebebasan jiwa, maka kita harus melihat musik sebagai musik itu sendiri. Kalo musik udah dikotak-kotak-in, maka yang ada hanya timbul fanatisme saja terhadap golongan musik tertentu. Dari sini timbul perpecahan, olokan, tinggi hati. Layaknya agama jika sudah disisipi fanatisme berlebih, yang ada hanya orang yang merasa benar sendiri padahal Tuhan itu ya hanya satu, apa pun agamanya.
Mungkin ada dari aliran musik tertentu yang mengolok-olok A atau P, bahwa mereka sama sekali tidak pantas berada di panggung besar dan dielu-elukan karena permainan gitar mereka sangat sederhana dibandingkan aliran musik, katakanlah metal (di sini saya tidak bisa memandang dengan tidak subjektif karena nulisnya susah. jadi maaf kalo blak-blakkan). Permainan mereka biasa bukan karena tidak bisa, tapi karena mereka bermusik mengejar yang pasar sukai saat ini. Lha wong grup metal saja banyak yang aransemennya tidak megah. Saya yakin permainan mereka tidak kalah dengan gitaris lain, tapi anak muda (baca:pasar) di sini tidak akan suka itu... nanti gak dapet duit dong, gimana mau makan? Kehilangan idealisme? Mungkin iya mungkin tidak. Siapa tahu mereka memang suka lagu-lagu yang pasar sukai. tapi jika iya, yang namanya dilema "gak kayak gini ya gak makan" mau gimana dong? Sekali lagi itu sah-sah saja asal jangan kebablasan. Karena lagu adalah doktrin alam bawah masyarakat, maka ciptakanlah yang bermutu. Lalu jika ada penghinaan tentang suaranya Afgan yang katanya lembek lah, ini lah, itu lah.. waktu itu saya tidak tahu siapa itu afgan (pikiran saya saat itu afganishtan) setelah checking checking... wow siapa bilang!! suaranya bagus, lembut dan live-nya juga bagus. meski gak tahu itu dari bakat atau latihan vokal yang berat, suaranya memang bagus. mengenai genre musik? ya suka-suka dia mau nyanyi lagu lembek atau apa, yang jelas suaranya merdu.
Secara subjektif, saya lebih suka metal (terutama power metal), biar kata isinya cuma fantasi atau mimpi tapi memang itulah hidup: untuk mimpi yang ingin kita kejar. mungkin banyak orang berkomentar tentang jenis musik ini, dari yang pecinta metal itu sendiri sampai pecinta afgan. ada yang bilang ini musik ribut dan rusuh, itu pun tak masalah, ya sesuai selera donk. seindah dan semegah apa pun lirik dan instrumen kalo kuping ga mau ya ga bakal suka. alasan saya suka genre itu terutama karena isinya dari dulu sampai tahun 2008 ini masih merupakan apresiasi jiwa yang bebas, dan yang mengapresiasikan musik itu adalah anak muda. Ya, alasan itu, alasan yang bahkan tidak saya jumpai di musik-musik pemuda bangsaku saat ini.
Pemuda bangsaku malah dengan tega menjual agama untuk alasan komersialisme. Cuma karena -maaf- Bulan Ramadhan menjelang, musik-musik religi jadi begitu menjamur. kalo mau bikin musik religi ya jadikanlah Tuhan sebagai inspirasimu, bukan lainnya. Kalo untuk Tuhan, bermusiklah seadanya dan jangan maniak hal lain sampe-sampe banjir job di bulan itu diborong semua. Nyanyinya sih musik religi, eh kuping kanan (apa kiri ya aku lupa) dicoblos pake anting. Nyanyinya musik religi, eh di infotainment ketahuan nonjok orang yang dicurigai sebagai selingkuhan istri. Nyanyinya sih musik religi, eh di album lain yg bukan religi ada lagu yang judul dan isinya tentang kekasih gelap. Nyanyinya sih musik religi, tapi manggungnya bertepatan sama jadwal shalat Taraweh (maklum jobnya banjir jadi sulit bagi waktu). Nyanyinya musik religi, tapi di infotainment diberitakan mau cerai karena punya kekasih gelap. Herannya... yang suka banyak. Dan bagaimana wajah musik religi Islam itu sendiri? coba kita tanya pada rumput yang berjoged, halah rumit! bagaimana kalo melirik ke arah Bimbo bersaudara atau Debu yang notabene bule semua.
Jadi, supaya pikiran kita ga terbelakang, jangan membuat sekat dalam musik. karena hanya satu di dalamnya: kebebasan. Untuk yang suka musik, ayo ciptakan generasi macam bang Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Emha Ainun Nadjib, Slank yang dulu. Kalaupun masih suka isi-isi lagu tentang cinta, minimal buatlah lirik dan lagu-lagu romantis ala katon/kla project. Kalo masalah gak anak muda banget atau gak gaul banget, maka kita harus bertanya mau jadi leader atau follower? karena kita nggak hidup menurut doktrin sosiologi anak muda masa kini yang bikin kita cuma jadi generasi tidak peka.
sumber
Jumat, Mei 08, 2009
Musik Sebagai Apresiasi Kebebasan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar